Selasa, 26 Maret 2013

26 Maret, Belanda nyatakan perang terbuka terhadap Kerajaan Aceh



SERATUS empat puluh tahun lalu Belanda melalui kapal perangnya Citadel van Antwerpen menyatakan perang dan mulai melepasan tembakan meriam ke daratan Aceh, 26 Maret 1873. Bombardir dari lautan ini kemudian disusul dengan pendaratan Belanda di Pantai Ceureumen pada 5 April 1873 di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Kohler.
Surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873. Pernyataan perang itu antara lain berbunyi. “Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh..”
Pernyataan perang pihak Belanda itu dijawab dengan tegas oleh Sulthan Alaiddin Mahmud Syah pada hari itu juga. “…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa…,”
Penolakan secara halus itu membuat Belanda berang dan berencana untuk melancarkan serangan ke Aceh setelah membacakan maklumat perang terhadap Aceh. Maklumat itu dibacakan setelah beberapa kali surat menyurat yang tegang antara sultan Aceh dengan Komisaris Pemerintah Belanda, Niewenhuijzen yang berlindung di atas kapal perang Citadel van Antwerpen.
Menurut Ali Hasjmy dalam “Peranan Islam dalam Perang Aceh” isi surat penolakan itu terkesan lembut, tapi pada hakikatnya adalah suatu pernyataan keteguhan hati dan iman seorang muslim sejati yang hanya mengakui kekuasaan dan perlindungan Tuhan.
Untuk menghadapi ancaman Belanda itu, maka Sultan Alaiddin Mahmud Syah menggelar musyawarah kerajaan pada 10 Zulkaidah 1288 Hijriah (1872 Masehi) di dalam Mesjid Baiturrahim Daruddunia. Dalam musyawarah itu hadir para ulama besar, menteri dan uleebalang seluruh Aceh.
Kala itu Sulan Aceh menjelaskan tentang bahaya yang sedang mengancam Aceh, yakni datangnya imperialis Belanda yang akan memerangi Aceh. Terhadap ancaman itu, musyawarah melahirkan kesepakatan dan keputusan akan melakukan perang total kalau Belanda menyerang Aceh.
Sebagai tanda kesepakatan tekad itu, maka para peserta musyawarah mengucapkan sumpah.
Pengambilan sumpah dipimpin oleh Kadli Mu’adhdham Mufti Besar Aceh, Syekh Marhaban bin Haji Muhammad Saleh Lambhuk dengan disaksikan oleh para alim ulama Aceh.
Sumpah tersebut berbunyi:
“Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini thaat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.”
Sumpah ini kemudian dimasukkan dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf Arab. Naskahnya ditemukan kembali dalam dokumen peninggalan Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh Said Abdullah Di Meulek. Naskah asli kini disimpan Said Zainal Abidin salah seorang keturunan Di Meulek, sementara foto kopinya ada di Pustaka Ali Hasjmy di Banda Aceh.
Belanda Menyerang Aceh Setelah maklumat perang dinyatakan pada 26 Maret 1873, sebulan kemudian, Senin, 6 April 1973, Belanda mendaratkan pasukannya di Pante Ceureumen, Ulee Lheue di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler.
Tak tanggung-tanggung, dalam penyerangan pertama ke Aceh itu, Belanda mengerahkan enam kapal perang, yakni Djambi, Citaden van Antwerpen, Marnix, Coehoorm, Soerabaya, dan kapal perang Sumatera. Ditambah Siak dan Bronbeek, dua kapal angkatan laut Pemerintah Belanda.
Selain itu ada lima barkas, delapan kapal ronda, satu kapal komando, enam kapal pengangkut, serta lima kapal layar yang masing-masing ditarik oleh kapal pengangkut. Tiga diantaranya untuk mengangkut pasukan altileri, kavaleri, dan para pekerja, satu untuk amunisi dan perlengkapan perang, serta satu kapal lagi untuk mengangkut orang-orang sakit.
Armada Belanda tersebut dipimpin Kapten laut J.F Koopman dengan kekuatan 168 orang perwira yang terdiri dari 140 orang Eropa, serta 28 orang Bumi Putera. Sementara 3.198 pasukannya terdiri dari 1.098 diantaranya orang-orang Eropa, sisanya 2.100 orang tentara dari Bumi Putra, yakni tentara bayaran Belanda dari Jawa.
Pasukan itu juga diperkuat dengan 31 ekor kuda perwira, 149 kuda pasukan, 1.000 orang pekerja dengan 50 orang mandor, 220 wanita dari Jawa yang masing-masing ditempatkan 8 orang untuk satu kompi tentara Belanda, serta 300 pria dari Jawa untuk pelayan para perwira Belanda. Dalam penyerangan perdana Belanda ke Aceh itu, Kohler dibantu oleh Kolonel E.C van Daalen, Wakil Panglima merangkap Komandan Infantri.
Begitu mendarat pasukan Belanda langsung digempur oleh pasukan Aceh dan terjadilah perang sengit. Setelah bertempur dengan susah payah, pada 10 April 1873, Belanda dapat merebut Mesjid Raya Baiturrahman. Akan tetapi karena tekanan-tekanan dari pejuang Aceh yang dipimpin Tgk. Imuem Lueng Bata, Belanda pun harus meninggalkan Mesjid Raya.
Pasukan Kerajaan Aceh yang berada di bawah pimpinan Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah dengan gigih menghalau Belanda dari tanah Aceh. Perang terbuka itu berlangsung selama satu tahun  yaitu dari 1873 hingga 1874. Pasukan Aceh berhasil mematahkan serangan tiga ribu lebih serdadu Belanda dan menewaskan pimpinannya JHR Kohler di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh pada 14 April 1873.
Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Tiga hari setelah Kohler tewas, Belanda mengundurkan diri ke pantai, setelah mendapat izin dari Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (Jakarta-red) pada 23 April 1873. Kapal-kapal angkatan perang Belanda itu pun meninggalkan Aceh pada 29 April 1873, kembali ke Batavia.
Karena Belanda mengalami kegagalan dalam penyerbuannya ke Aceh, tak lama kemudian Jenderal G.P Booms dalam bukunya “De Erste Atjeh Expediti en Hare Enguete” mengecam Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia atas kegagalan tersebut, karena dinilai terlalu menganggap remeh kekuatan Aceh.
Dalam buku itu ia menulis, “Blijkbaar rekende men dus op een gemakkelijke overwinning. De feiten, een jarenlange ervaring, hebben echtar getoond, dat men te maken had men telrijken, energieken vijand,...met een volk van een ongekende doodsveracting,dat zich onverwinbaar achtte...die ervaring leert in een woord, dat wij niet gestaan hebben tegenover een machteloozen sultan wiens rijk met den valvan zijn kraton zou ineenstorten maar tegenover een volksoorlong,die behalve over al de materieele middelen vaqn het land, over geweldige moreele krachten van fanatisme of patriotisme beschikte..
Artinya: telah diperkirakan suatu kemenangan yang akan diperoleh dengan mudah. Akan tetapi, pengalaman bertahun-tahun lamanya memberikan petunjuk, bahwa yang dihadapi itu adalah musuh dalam julah besar yang sangat gesit ..... suatu bangsa yang tidak gentar menghadapi maut, yang menganggap ia tidak dapat dikalahkan.... Pengalaman itu memberi pelajaran, bahwa kita tidak dapat mengahadapi seorang Sultan, yang kesultanannya akan berubah dengan jatuhnya kraton, akan tetapi kita menghadapi rakyat yang menentukan harta benda negara, memilki tenaga-tenaga moril, seperti cinta tanah air.”
Dalam sidang Palemen Belanda ada tanggal 15 Mei 1877, Menteri Urusan Koloni, Belanda memberikan jawaban atas interpelasi yan menyoalkan kegagalan Belanda itu, “Wij hebben te trotseeren gehad een ongekande doodsveracthing, een volk dat zich onverwinbaar achtte.
Artinya “Kita telah menghadapai maut, bangsa yang menganggap ia tidak sedikit pun gentar menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak mungkin dapat dikalahkan.”
Kegagalan Belanda itu terus saja dibicarakan, sampai Belanda pun menaruh hormat atas keberanian pejuang Aceh baik pria maupun wanita. Rasa hormat itu sebagaimana diungkapkan H C Zentgraaff dalam bukunya “Atjeh” ia menulis.
De atjehschevrouw, fier en depper, was de verpersoonlijking van den bittersten haat jegens ons, en van de uiterste onverzoenlijkheid an als zij medestreed, dan deed zij dit met een energie en doodsverachting welke veelal die der mennen overtroffen. Zij was de draagster van een haat die brandde tot den rand van het graf en nog in het aangezicht van den dood spuwde zij hem, den kaphe in het geizcht”.
Artinya “Wanita Aceh gagah dan berani mereka pendukung yang tidak mungkin didamaikan, terhadap kita dan bila ia turut serta bertempur, dilakukannya denga gigih dan mengagumkan, bersikap tidak takut mati yang melebihi kaum pria. Ia mempunyai rasa benci yang menyala-nyala sampai liang kubur dan sampai saat mehhadapi maut, ia masih mampu mendahului muka si kaphe.”
Zentgraaff menilai, wanita Aceh dalam setiap perang menolak setiap perdamaian dan lebih berwatak keras dengan berprinsip membunuh atau dibunuh. Pujian Zentgraaff terhadap wanita Aceh muncul setelah ia menemuai Pocut Di Biheue, seorang wanita pemberani yang menyerang patroli Belanda seorang diri. Kemudian ada lagi kisah keuletan Pocut Baren, yang kakinya harus diamputasi.
Ada lagi kisah istri Teungku Mayed Di Tiro, putra Tgk Chik Di Tiro. Dalam pertempuran pada tahun 1910, meski sudah dikepung pasukan Belanda, Tgk Mayed Di Tiro bisa meloloskan diri atas bantuan istrinya.
Sementara istrinya tertangkap dengan luka para di tubuhnya, sewaktu komandan pasukan Belanda hendak memberikan pertolongan, ia menolaknya. “Bek ta mat kei kaphe budok (jangan sentuh aku kafir celaka),” hardiknya dengan suara lantang. Ia lebih memilih syahid dari pada mendapat pertolongan dari kafir.
Hal yang sama juga diakui oleh Panglima Perang Belanda di Aceh, Jenderal Van Pel. Dalam buku ES Klerek: History of Netherland Eas Indie ia mengakui jatuhnya mental tentara Belanda akibat perlawanan sengit dari rakyat Aceh.
Ia menulis: “The proclamation of direct rule over Acheh pi proper had been a mistaken idea; there could be not question of conquest for the time being, the standing army in Acheh beingdepleted by the heavy losses suffered and the consequent large drainage of force.” (Proklamasi tentang langsung dijajah/diperintah Aceh, sesungguhnya adalah cita-cita yang amat salah. Sebenarnya soal menang tidak ada waktu itu. Keadaan serdadu di Aceh sangat menyedihkan karena menderita kekalahan hebat dan akibatnya kemusnahan kekuatan yang besar).
Pada Perang Aceh kedua (1874-1880), pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874 dan menjadikannya sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda.
Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di Masjid Indragiri.
Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896) dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.[] dari berbagai sumber

Selasa, 19 Februari 2013

GURU MENANTANG PERMEN PAN-RB NOMOR 16 TAHUN 2009


Penulis: Alfaizin.MA,MM

Rasa resah,  gelisah ini dan pasrah serta bayang-banyangan menakutkan mendera sebagian guru di Indonesia pada umumnya dan Lingkungan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh khususnya dengan mulai di tabuh gendrang terhitung 1 Januari 2013  tanda dimulainya pemberlakukan Permen PAN-RB Nomor 16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kredit, namun ada juga sebagian guru yang merasa tertantang dan ingin menantang keluarnya Permen PAN-RB nomor 16 tahun 2009 dengan berbagai cara diantaranya menguatkan diri dengan pengembangan kapasitas diri. Karena, permen ini pada prinsipnya menuntut pada  peningkatan profesionalisme guru sebagai ujung tombak pendidikan. Tuntutan tersebut berakibat meningkatknya motivasi guru melakukan langkah-langkah nyata yang relevan dengan isi permen tersebut. Maka sangat tergantung pula kepada kesiapan dan tingkat kemaun berkembang serta kompetensi yang melekat pada guru selama ini.
Harus kita akui Permenpan No. 16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kredit Guru memang jelas akan lebih sulit untuk kenaikan pangkat kedepan. Sebab banyak sekali perubahan dari Permenpan No. 84/1993 yang sebelumnya menjadi rujukan dalam jabatan fungsional guru dan Angka Kredit. Seperti jenjang pangkat dan dan dalam pengajuan DUPAK hanya diajukan apabila guru mau naik pangkat dan guru yang belum tidak diwajibkan mengajukannya. Kemudian pengembangan profesi seperti pembuatan karya tulis ilmiah hanya dibebankan kepada guru yang akan naik pangkat IV/a ke atas.
Namun dalam Permenpan No. 16/2009  guru wajib mengajukan DUPAK per tahun dengan bukti fisik dari setiap unsur guna dinilai,  nilai yang diperolah akan dikomulatif sampai tercapai angka kredit untuk naik pangkat setingkat lebih tinggi. Berkaitan dengan pengembangan profesi guru yang akan naik pangkat dari III/b ke atas, diwajibkan membuat karya inovatif yang salah satunya berupa karya tulis ilmiah.
Hukum wajib dalam aturan perundang-undangan mungkin kita cukup memahami jika tidak membuat karya inovatif maka pangkat guru tidak akan bisa naik, maka tidak menutup kemungkinan guru yang tidak sanggup menantang harus ditinggalkan oleh pangkatnya sendiri dengan tidak bisa berjalan seperti layak nya dengan mudah setiap 2 tahun sekali naik pangkat lebih naïf lagi jika da. Kejadian ini mudah-mudahan tidak akan pernah sejati jika guru menyiapkan dirinya.
Hilang Tunjangan Fungsional
Rasa perlu diketahui  oleh para guru juga, dalam PP No. 99/2002 jo PP 12/2002 dan PP No. 96/2000 jo PP 9/2003 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian bahwa kenaikan pangkat merupakan penghargaan yang diberikan pemerintah kepada setiap PNS atas prestasi kerjanya. Sedangkan bagi guru yang tidak dapat menunjukkan prestasinya dan tak dapat naik pangkat dalam jangka waktu tertentu, ada pasal yang mengatur tentang sanksinya. Yaitu pasal 37 ayat 1. Disebutkan, guru yang tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan tak mendapat pengecualian dari menteri pendidikan nasional, dihilangkan haknya untuk mendapat tunjangan profesi, tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan lainnya sampai guru yang bersangkutan dapat menunjukkan hasil kerjanya serta bisa naik pangkat setingkat lebih tinggi.
Bab V pasal 11 Permen PAN-RB nomor 16 tahun 2009, menyebutkan bahwa unsur dan sub unsur kegiatan Guru yang dinilai angka kreditnya adalah a) Pendidikan, b) Pembelajaran/bimbingan dan tugas tertentu, c) Pengembangan keprofesian berkelanjutan, dan d) Penunjang tugas Guru. Dari keempat unsur itu, yang perlu dicermati karena merupakan unsur terberat yang dirasakan guru adalah pengembangan keprofesian berkelanjutan. Menurut permen tersebut, pengembangan keprofesian berkelanjutan, meliputi pengembangan diri, publikasi Ilmiah, dan karya Inovatif. Pengembangan diri, meliputi diklat fungsional dan kegiatan kolektif Guru yang meningkatkan kompetensi dan/atau keprofesian Guru. Publikasi Ilmiah, meliputi publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal dan publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan, dan pedoman Guru. Sedangkan karya Inovatif, meliputi menemukan teknologi tepat guna, menemukan/ menciptakan karya seni, membuat/memodifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum, dan mengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya.

Berkaitan dengan kenaikan jabatan/pangkat, pasal 16 ayat (2) Permen PAN-RB nomor 16 tahun 2009, menyebutkan bahwa untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat lebih tinggi dari Guru Pertama, pangkat Penata Muda, golongan ruang III/a sampai dengan Guru Utama, pangkat Pembina Utama, golongan ruang IV/e wajib melakukan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan yang meliputi sub unsur pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan/atau karya inovatif. Kewajiban ini meningkat sesuai dengan jenjang kepangkatan, sehingga menuntut peningkatan pengembangan keprofesian berkelanjutan.

Tips yang harus dilakukan guru
Dengan peraturan Permenpan No. 16/2009 yang harus dilakukan oleh guru sekarang adalah berupaya untuk belajar menulis karya ilmiah dan berkreasi, disaat kita runut menulis karya ilmiah sebenarnya bukan hal yang sangat susah dan angker yang selama ini seperti kita dengar curhat sebagian guru, sehingga menimbulkan resah, gelisah yang sangat berlebihan, kembali kebelakang disaat kita sebelum di angkat menjadi guru, kita pernah menempuh jalur kuliah, di bangku kuliah kita selalu diajarkan menulis minimal satu semester sekali semisal makalah dan  pada akhir kuliah kita ditutup penyusunan skripsi, illa, but, kecuali semua itu kita rental disaat kuliah dulu, sehingga mungkin sekarang rasa gemetar itu tiba.

Pada prinsibnya masih membuka peluang kita untuk memperbaiki, melakukan pengembangan diri dengan Berbagai upaya itu diantaranya 1) secara aktif ikut dalam kegiatan diklat atau seminar yang diselenggarakan baik oleh lembaga pendidikan maupun pemerintah, 2) rajin melakukan inovasi pembelajaran serta mewujudkannya dalam bentuk penelitian tindakan kelas (PTK), 3) kreatif membuat alat pembelajaran dan alat praktik yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, dan 4) aktif menulis artikel maupun ulasan pendidikan lainnya dan mengirimkannya kepada jurnal ilmiah atau media massa untuk dapat diterbitkan. Pendek kata, guru hendaknya lebih cerdas menyikapi setiap regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Kecerdasan berpikir dan bersikap menjadi signifikan dihadirkan agar kompetitif baik di lingkungan lokal maupun global, 5) Memberdayakan MGMP/KKG, 6) Memanfaatkan situs,  7) Mengadakan Study Visit dengan cara meniru pola, etos kerja, dan strategi dari kelompok lain yang lebih maju merupakan langkah praktis untuk mengembangkan diri.

Sehingga apabila ini dilakukan guru Kementerian Agama Provinsi Aceh dapat secara aktif menantang apa yang menjadi kegelisahan selama ini,  dengan diberlakukannya Permen PAN-RB nomor 16 tahun 2009 terhitung tanggal 1 Januari 2013. Semoga dan insyaallah.

Senin, 18 Februari 2013

DISAAT MANUSIA TIDAK DIANGGAP LAGI SEBAGAI ASET



Penulis Alfaizin.MA,MM
"Kami memang tidak mempunyai apa-apa, kami hanya mempunyai Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul". Kalimat yang begitu kuat dari seorang profesor dari Jepang, yang menunjukan bahwa SDM unggul lah yg membuat mereka maju dan tumbuh berkembang, dan mampu mengimbangi bahkan mungkin mengungguli bangsa-bangsa Eropa maupun Amerika. Yang dalam konteks ini dapat dipahami bahwa SDM adalah sebagai aset utama.
Penggalan pernyataan professor diatas patutnya menjadi hentakan hati bagi kita dalam menjadikan manusia sebagai Aset. Realita banyak organisasi baik Perusahaan bahkan Organisasi Pemerintah seperti Dinas, Kantor Kementerian bahkan di Madrasah/Sekolah seakan-akan dalam prakteknya ogah dan sungkan menyebutkan manusia/karyawan/staf adalah  Aset tetapi mereka memandang Aset adalah barang seperti mobil, lactop, meja, kursi, mesin, gedung dan lain-lain. Sebenarnya dalam ilmu Manajemen pemahaman seperti itu adalah hal yang sangat dan sangat keliru kerena selain Barang manusia juga merupakan Aset Besar bahkan melebihi barang, terbukti Barang yang multi manfaat dan serba canggih seperti Mobil, Lactop dan alat-alat canggih yang ada disekitar kita atau disekeliling lingkungan kita bekerja tidak akan berguna sedikitpun apabila tidak mempunyai manusia yang professional dalam menggerakan atau mengelolanya sehingga menjadi barang yang sesuai dengan fungsinya.
Maka menjadi pandangan yang tidak jarang kita lihat banyak barang-barang diatas di Kantor-kantor atau di Madrasah kita ambil sampel di Lingkungan Kementerian Agama dan hal ini juga banyak terjadi di intansi yang lain di luar Kementerian Agama, Barang yang ada kadang rusak dengan tidak pernah terpakai kalau dengan bahasa Aceh (Hanco keudro) pertanyaannya Apa yang salah? belum lagi berbicara pencapaian visi dan misi serta tujuan organiasasi. Maka sangat sulit dicapai apabila organisasi itu sendiri disaat mengabaikan dalam prakteknya “Manusia tidak lagi dianggap sebagai Aset”. Maka patut  Negara dan organisasi yang bisa menempatkan Manusia sebagai Aset Utama organisasi pemerintah atau organisasi swasta akan maju pesat dalam mencapai tujuan serta Visi dan misi organisasinya.
Mengenai perkembangan Sumber Daya Manusia dalam suatu organisasi, Greer menyatakan bahwa: Dewasa ini, perkembangan terbaru memandang SDM bukan sebagai sumber daya belaka, melainkan lebih berupa modal atau aset bagi institusi atau organisasi. Karena itu kemudian muncullah istilah baru di luar H.R. (Human Resources), yaitu H.C. atau Human Capital. Di sini SDM dilihat bukan sekedar sebagai aset utama, tetapi aset yang bernilai dan dapat dilipatgandakan, dikembangkan (bandingkan dengan portfolio investasi) dan juga bukan sebaliknya sebagai liability (beban,cost). Di sini perspektif SDM sebagai investasi bagi institusi atau organisasi lebih mengemuka.
Berdasarkan hal di atas, maka SDM memegang nilai yang sangat penting dalam manajemen keorganisasian. Meskipun teknologi banyak dilibatkan dalam roda organisasi, namun tetap saja organisasi memerlukan SDM sebagai daya penggerak dari sumber daya lainnya yang dimiliki oleh organisasi dalam bentuk apapun
Sumber Daya Manusia sebagai aset utama  berarti harkat martabatnya sebagai manusia didudukkan sebagaimana yang seharusnya sebagai manusia. Perlakuan yang manusiawi tersebut salah satunya adalah dengan mencerdaskan dan menyiapkan menjadi SDM yang unggul, berkualitas dan mempunyai keahlian atau ketrampilan yang diperlukan organisasi.
            Sumber daya manusia adalah kemampuan terpadu dari daya pikir dan daya fisik yang dimiliki individu, perilaku dan sifatnya ditentukan oleh keturunan dan lingkungannya, sedangkan prestasi kerjanya dimotivasi oleh keinginan untuk memenuhi kepuasannya. Sumber daya manusia merupakan aset dalam segala aspek pengelolaan terutama yang menyangkut eksistensi organiasi.
Sumber daya manusia atau biasa disingkat menjadi SDM merupakan potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Dalam pengertian praktis sehari-hari, SDM lebih dimengerti sebagai bagian integral dari sistem yang membentuk suatu organisasi.
Dalam mengungkap kinerja organisasi Nickson (2007:169) mengutip pendapat Armstrong yaitu :
            “Performance management is about getting better results from the organization, teams and individuals by understanding and managing performance within an agreed framework of planned goals, standards and competing requirements. It is a process for establishing shared understanding about what is to be achieved, and an approach to managing and developing people in a way which increases the probability that it will be achieved in the short and long term. It is owned and driven by management. “

            Berdasarkan pendapatnya di atas dapat dikatakan bahwa kinerja organisasi diperoleh dari pengelolaan berbagai tujuan, sasaran dan pengembangan sumber daya manusia di dalamnya dalam rangka mencapai tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Peran pimpinan dalam hal ini sangat dominan. Sejauh mana pimpinan menghendaki SDM organisasinya berkembang maka pimpinan tersebut memiliki kewenangan dalam mewujudkan pengembangan SDM melalui berbagai kegiatan pengembangan dan pelatihan sesuai dengan kompetensi masing-masing  yang dimiliki pegawainya.
Apabila daya dukung organisasi sudah dapat berjalan secara simultan maka pengembangan sumberdaya manusia berbasis kompetensi akan dapat memberikan dampak baik bagi peningkatan kinerja organisasi. Hal ini terjadi karena sumberdaya manusia yang berkembang secara kompeten merupakan suatu kondisi dimana seluruh elemen internal organisasi siap untuk bekerja dengan mengandalkan kualitas diri dan kemampuan yang baik bukan lagi perspektif (IP) IP yang dimaksud  bukan indek Prestasi yang sering kita jumpai di Kampus, tapi IP yang dimaksudkan adalah Indek Pedekatan seharusnya.
Pada level tertentu dimana kondisi di atas sudah mampu tercipta dalam suatu organisasi maka kinerja individu organisasi menjadi cerminan bagi kinerja organisasi. Terdapat banyak tantangan dalam menciptakan situasi kondusif bagi organisasi untuk meningkatkan kinerjanya dan pengembangan SDM merupakan salah satu hal yang patut kian dilakukan. Organisasi yang menghendaki kinerja yang optimal dibutuhkan pula konsistensi dan konsentrasi dari manajemen mengenai pengelolaan pegawai yang baik dan proporsional serta menciptakan hubungan kerja yang efektif dengan selalu mengedepankan asas kesetaraan dan saling menghargai.
Mudahanan organisasi Kita Kementerian Agama yang sudah baik selama ini menjadi lebih baik lagi kedepan seperti harapan Menteri Agama Surya Dharma Ali dalam setiap pidatonya. Mudah-mudahan dan Insyaallah dengan tekad kebersamaan dan Aset yang sungguh sangat luar biasa tersebar di seluruh pelosok  Lingkungan Kementerian Agama, khususnya di Kantor Wilayah Kementerian Agama provinsi Aceh yang di pimpin oleh Bapak Drs. Ibnu Sa’dan, M.Pd yang merupakan figur terbaik  bukan Hal mustahil ini terwujud dan meraih WTP kedepan dengan selalu menjadikan karyawan Aset penting mulai dari Kantor wilayah sampai ke Madrasah.

Selasa, 11 Januari 2011

PORSENI KE-XII Kementerian Agama Propinsi Aceh Resmi Dibuka

Direktur Mapenda Kementrian Agama (Kemenag) RI, Drs H A Saifuddin MA membuka secara resmi Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) XII tingkat Kemenag Aceh di Meulaboh, Aceh Barat ditandai dengan pemukulan rapaie yang disaksikan oleh Kepala Kantor Wilayah Kemenag Aceh, Drs A Rahman Tb serta Bupati dan pejabat yang datang dari 23 Kabupaten /kota Di Aceh dan para Kakankemenag kabupaten/kota serta ribuan peserta.

Senin, 12 Januari 2009

RAPBK ACEH BARAT 2009 TIDAK PRO-RAKYAT DAN INKONSTITUSIONAL

Melihat mekanisme dan pola yang ditempuh oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Panitia Anggaran (Panggar) DPRK Aceh Barat yang tidak memenuhi standart prosedur ideal yang ditetapkan maka Aliansi Masyarakat Peduli Anggaran (AMPA) Kabupaten Aceh Barat menyatakan bahwa proses perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Barat terkesan hanya untuk mengejar Tenggat waktu yang ditentukan peraturan perundan-undangan tanpa didasari pada pemenuhan substansi capaian yang berpihak kepada rakyat.

Pernyataan tersebut didasari oleh beberapa faktor antara lain, proses pembahasan yang terburu-buru, penyerahan dokumen perencanaan yang tidak sesuai dengan tata tertib, keterkaitan antara dokumen perencanaan yang tidak jelas dan tahapan kunsultasi publik yang ditiadakan atau tidak sesuai dengan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tatacara Penyusunan Qanun.

Dari kenyataan-kenyataan diatas dapat disimpulkan beberapa kelemahan sebagai berikut:

1. Proses Pembahasan RAPBK dilakukan selama 3 (tiga) hari.

Proses pembahasan yang dilakukan selama tiga hari, tentu akan memberi dampak pada hasil yang tidak maksimal. Sebab sebagai bahan perbandingan, pembahasan RAPBK Tahun 2008 lalu yang dibahas dengan Tenggat waktu selama satu bulan saja menghasilkan APBK Aceh Barat yang tidak memihak kepada rakyat.

2. RKA-RAPBK Aceh Barat Tahun Anggaran 2009 tidak memenuhi asas keadilan dan kepatutan sebagaimana diamanahkan oleh UU No. 17 Tahun 2003. Hal ini tergambarkan pada pengalokasian anggaran Biaya Tidak Langsung (BTL) lebih besar dari Biaya Langsung (BL) dengan rincian Biaya Tidak Langsung sebesar Rp. 304.128.153.895,- dan Biaya langsung Rp. 180.544.075.720,- dengan perbandingan 62,75% : 37.25% dari total anggaran Rp. 484.672.229.615,-

Ironisnya, dalam Biaya Langsung masih terdapat Belanja Aparatur, seperti Honor Pelaksana Kegiatan, Belanja Perjanan Dinas, Belanja Pakaian Dinas, Belanja Makan Minum Pegawai, Konsumsi Pelaksana Kegiatan dan lain-lain.

3. Dokumen RKA dari setiap SKPD diserahkan kepada PANGGAR DPRK pada waktu pembahasan dilakukan.

Kondisi ini akan berpengaruh pada program yang dihasilkan tidak maksimal, sebab Panggar DPRK tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari dokumen RKA tersebut. Dikhawatirkan program-program yang direncanakan dari setiap RKA-SKPD tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kondisi daerah saat ini.

4. Tidak adanya sinkronisasi antara dokumen perencanaan dengan penganggaran, sebagaimana diatur dalam PP No. 58 Tahun 2007.

Prioritas Platfon Anggaran Sementara (PPAS) dengan RKA-RAPBK belum menunjukkan keterkaitan secara nyata, sehingga tidak seluruh program yang direncanakan dalam PPAS, dijabarkan pada RKA-RAPBK (tidak konsisten).

5. Tidak adanya konsultasi publik terhadap dokumen RAPBK.

Seharusnya sebelum RKA-RAPBK dibahas, terlebih dahulu dilaksanakan konsultasi publik sebagai ruang partisipasi masyarakat sesuai Qanun Aceh No. 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun.

Berdasarkan analisis di atas, Aliansi Masyarakat Peduli Anggaran (AMPA) Kabupaten Aceh Barat menilai RAPBK Aceh Barat Tahun Anggaran 2009 tidak pro-rakyat dan inkonstitusional. Oleh karena itu AMPA menyatakan sikap sebagai berikut :

1. Mendesak Pemerintahan Kabupaten Aceh Barat untuk menunda pengesahan RAPBK karena ada beberapa item yang harus diperbaiki. Jika tetap dipaksakan pengesahannya, maka APBK Aceh Barat Tahun Anggaran 2009 cacat formil dan materil.

2. Mendesak Fraksi-Fraksi DPRK Aceh Barat untuk menolak RAPBK yang telah dibahas oleh Panggar DPRK dengan TAPD

3. Mendesak Gubernur Aceh untuk melakukan evaluasi secara serius terhadap RAPBK Aceh Barat Tahun Anggaran 2009 sekaligus memberikan masukan-masukan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.


Kerajaan Aceh Cukup dikenal Kebelahan Dunia